Oleh M. Zaid Wahyudi dalam Kompas 12 Maret 2014
ATAS nama cinta, Ahmad Imam alias Hafitd (19) dan
Assifa Rahmadhani (18) tersandung kasus. Mereka diduga tega menyiksa dan
membunuh Ade Sara Angelina (19). Konon, sakit hati dan dendam karena diputuskan
Sara membuat Hafitd melupakan rasa cintanya pada Sara. Sementara itu, cemburu
membuat Assifa gelap mata hingga bersedia membantu membinasakan Sara,
pesaingnya.
Cinta memang buta. Andreas Bartels dan Semir Zeki
dalam The Neural Basis of Romantic Love di Neuroreport Volume 11 Nomor 17 Tahun
2000 menyebutkan, saat jatuh cinta, bagian otak depan yang disebut korteks
prefrontal yang mengatur logika menjadi tumpul. Sebaliknya, bagian otak yang
mengendalikan emosi menguat. Kuatnya ikatan emosional saat rasa cinta muncul
membuat kemampuan seseorang dalam menilai orang lain melemah.
”Cinta memang tidak rasional karena ia adalah
letupan perasaan emosional yang dibalut oleh berbagai kebutuhan, seperti
kebutuhan untuk menyayangi ataupun ingin disayangi,” kata Sekretaris Jenderal
Masyarakat Neurosains Indonesia, yang juga dosen Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, saat dihubungi dari Jakarta,
Senin (10/3).
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina
Nusantara, Jakarta, Pingkan CB Rumondor, mengatakan, munculnya rasa cinta tidak
bisa direncanakan dan tidak bisa dihindari. Perasaan itu juga sulit
dikendalikan, apalagi dihilangkan. Semakin
dalam seseorang memendam cinta, rasa cinta akan semakin muncul menggebu-gebu.
Walau cinta tak bisa dikendalikan, tindakan
seseorang setelah munculnya rasa cinta bisa dikendalikan. ”Pengendalian
menuntut pengakuan diri bahwa ia sedang jatuh cinta,” katanya.
Pengendalian tindakan itu dilakukan dengan melihat
kenyataan yang ada. Di sinilah penilaian atas rasa cinta yang muncul pada diri
dilakukan, seperti, apakah orang yang kita cintai juga mencintai kita atau
apakah rasa cinta itu jatuh pada orang yang tepat tanpa melanggar norma dan
budaya.
Untuk bisa menilai cinta yang muncul, seseorang
memerlukan perasaan bahwa dirinya berharga. Artinya, apa pun hasil penilaian
itu, apakah cintanya diterima atau justru bertepuk sebelah tangan, maka dirinya
tetap berharga. Penolakan tidak mengurangi harga dirinya.
Sakit hati, sedih, depresi, galau, atau rasa tidak
diterima dan dihargai yang muncul akibat penolakan cinta, termasuk saat
diputuskan cinta, adalah perasaan yang wajar. Kehadiran berbagai emosi negatif
itu justru baik secara psikologi. ”Justru jika setelah cintanya ditolak
langsung move on, misalnya langsung punya pacar lagi, itu justru tidak sehat.
Perasaan sedih yang muncul akan terselubungi dan bisa mengganggu hubungan
berikutnya,” kata Pingkan.
Namun, apa yang diduga dilakukan Hafitd dan Assifa
bukanlah cinta. Rasa sakit hati, cemburu, dan takut kehilangan lebih
mendominasi. Emosi negatif itu meledak dalam tindakan yang justru melanggar
norma dan budaya.
”Cinta itu ada gairah, keintiman, dan komitmen.
Cinta membuat dua individu tetap menjadi dirinya sendiri, tetapi sama-sama
saling peduli,” kata Pingkan. Dalam kasus yang diduga dilakukan Hafitd dan
Assifa, perasaan yang lebih mengemuka adalah rasa kecewa, marah, merasa tidak
dihargai dan tidak bisa menghargai diri sendiri. Itu bukan cinta.
Kejam
Kekejaman dalam proses pembunuhan Sara dengan cara
memukul, menyetrum selama berjam-jam, dan menyumpal mulut korban dengan kertas
hingga membuang jasadnya ke kolong jembatan Tol Bintara, Bekasi Barat (Kompas,
6/3 dan 7/3), merupakan bentuk ketakutan dan kekhawatiran pelaku.
”Kekejaman itu dilakukan sebagai upaya pertahanan
diri agar penyiksaan yang berakhir dengan pembunuhan itu tidak diketahui
orang,” kata Taufiq.
Meskipun upaya pembunuhan itu direncanakan,
membunuh seseorang bukan persoalan gampang, kecuali bagi pembunuh profesional.
Apalagi pembunuhan dilakukan dengan cara menyiksa korban selama berjam-jam.
Saat amarah muncul, lelaki umumnya melampiaskan
dengan tindakan fisik, baik melalui gerakan tangan maupun kaki. Pada kondisi
ini, bagian otak yang lebih aktif adalah sistem limbik yang mengontrol emosi
bekerja sama dengan bagian otak yang mengatur sistem motorik.
Adapun pada perempuan, saat murka melanda, bagian
otak yang lebih aktif adalah girus singulat (cingulate gyrus), yaitu otak sadar
yang merupakan bagian dari korteks prefrontal. Ini adalah bagian otak untuk
berpikir rasional, bukan sistem limbik yang juga dimiliki otak binatang. Karena
itu, kemarahan pada perempuan biasanya berwujud mata mendelik, tidak
menggunakan tubuhnya untuk melakukan kekerasan.
Karena itu, jika ada perempuan sanggup melakukan
perbuatan fisik untuk melukai orang lain sebagai ungkapan amarah, Taufiq
menduga, itu akibat situasi yang membuat otak rasional perempuan menjadi tumpul
dan emosinya justru lebih mengemuka.
”Hilangnya rasionalitas yang tergantikan oleh
agresivitas untuk mempertahankan diri adalah bentuk pertahanan diri yang paling
primitif pada makhluk hidup,” ujar Taufiq.
Rasionalitas sebenarnya bisa dibangun jika anak
sejak dini diajarkan untuk melogika segala sesuatu yang ada di sekitarnya,
termasuk tindakannya. Namun, emosi akan mengemuka dan rasionalitas menjadi
tumpul jika anak terbiasa diasuh dengan aturan ”pokoknya...” tanpa menjelaskan
alasan di balik setiap aturan yang diberlakukan.
Pendidikan di sekolah yang lebih mengedepankan
dogma dan hafalan akan semakin memperparah kemampuan bernalar anak.
”Rasionalitas yang muncul akan mendorong seseorang mencintai sewajarnya, bukan
serakah terhadap cinta. Cinta yang sewajarnya hanya bisa diperoleh jika
seseorang juga memiliki benci yang sewajarnya. Jika cinta dan benci berlebihan,
yang muncul adalah malapetaka,” ujar Taufiq.
Bentuk cinta yang paling rendah adalah mengagumi,
hanya terikat pada keindahan saja. Sedangkan cinta yang paling tinggi adalah
penyatuan diri hingga saling meniadakan identitas diri dengan yang dicintai.
Pingkan menambahkan, penghargaan atas diri adalah modal bagi hadirnya cinta yang tidak emosional. Perasaan ini dapat muncul jika sejak kecil anak dihargai. Merendahkan anak atau memaksa anak untuk berusaha keras agar mendapat penghargaan dari orangtua akan menyulitkan anak untuk menghargai dirinya sendiri.