Kamis, Maret 20, 2014

Cinta itu Memang Buta.

Oleh M. Zaid Wahyudi dalam Kompas 12 Maret 2014

ATAS nama cinta, Ahmad Imam alias Hafitd (19) dan Assifa Rahmadhani (18) tersandung kasus. Mereka diduga tega menyiksa dan membunuh Ade Sara Angelina (19). Konon, sakit hati dan dendam karena diputuskan Sara membuat Hafitd melupakan rasa cintanya pada Sara. Sementara itu, cemburu membuat Assifa gelap mata hingga bersedia membantu membinasakan Sara, pesaingnya.

Cinta memang buta. Andreas Bartels dan Semir Zeki dalam The Neural Basis of Romantic Love di Neuroreport Volume 11 Nomor 17 Tahun 2000 menyebutkan, saat jatuh cinta, bagian otak depan yang disebut korteks prefrontal yang mengatur logika menjadi tumpul. Sebaliknya, bagian otak yang mengendalikan emosi menguat. Kuatnya ikatan emosional saat rasa cinta muncul membuat kemampuan seseorang dalam menilai orang lain melemah.

”Cinta memang tidak rasional karena ia adalah letupan perasaan emosional yang dibalut oleh berbagai kebutuhan, seperti kebutuhan untuk menyayangi ataupun ingin disayangi,” kata Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia, yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (10/3).

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Pingkan CB Rumondor, mengatakan, munculnya rasa cinta tidak bisa direncanakan dan tidak bisa dihindari. Perasaan itu juga sulit dikendalikan, apalagi dihilangkan. Semakin dalam seseorang memendam cinta, rasa cinta akan semakin muncul menggebu-gebu.

Walau cinta tak bisa dikendalikan, tindakan seseorang setelah munculnya rasa cinta bisa dikendalikan. ”Pengendalian menuntut pengakuan diri bahwa ia sedang jatuh cinta,” katanya.

Pengendalian tindakan itu dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada. Di sinilah penilaian atas rasa cinta yang muncul pada diri dilakukan, seperti, apakah orang yang kita cintai juga mencintai kita atau apakah rasa cinta itu jatuh pada orang yang tepat tanpa melanggar norma dan budaya.

Untuk bisa menilai cinta yang muncul, seseorang memerlukan perasaan bahwa dirinya berharga. Artinya, apa pun hasil penilaian itu, apakah cintanya diterima atau justru bertepuk sebelah tangan, maka dirinya tetap berharga. Penolakan tidak mengurangi harga dirinya.

Sakit hati, sedih, depresi, galau, atau rasa tidak diterima dan dihargai yang muncul akibat penolakan cinta, termasuk saat diputuskan cinta, adalah perasaan yang wajar. Kehadiran berbagai emosi negatif itu justru baik secara psikologi. ”Justru jika setelah cintanya ditolak langsung move on, misalnya langsung punya pacar lagi, itu justru tidak sehat. Perasaan sedih yang muncul akan terselubungi dan bisa mengganggu hubungan berikutnya,” kata Pingkan.

Namun, apa yang diduga dilakukan Hafitd dan Assifa bukanlah cinta. Rasa sakit hati, cemburu, dan takut kehilangan lebih mendominasi. Emosi negatif itu meledak dalam tindakan yang justru melanggar norma dan budaya.

”Cinta itu ada gairah, keintiman, dan komitmen. Cinta membuat dua individu tetap menjadi dirinya sendiri, tetapi sama-sama saling peduli,” kata Pingkan. Dalam kasus yang diduga dilakukan Hafitd dan Assifa, perasaan yang lebih mengemuka adalah rasa kecewa, marah, merasa tidak dihargai dan tidak bisa menghargai diri sendiri. Itu bukan cinta.

Kejam

Kekejaman dalam proses pembunuhan Sara dengan cara memukul, menyetrum selama berjam-jam, dan menyumpal mulut korban dengan kertas hingga membuang jasadnya ke kolong jembatan Tol Bintara, Bekasi Barat (Kompas, 6/3 dan 7/3), merupakan bentuk ketakutan dan kekhawatiran pelaku.

”Kekejaman itu dilakukan sebagai upaya pertahanan diri agar penyiksaan yang berakhir dengan pembunuhan itu tidak diketahui orang,” kata Taufiq.

Meskipun upaya pembunuhan itu direncanakan, membunuh seseorang bukan persoalan gampang, kecuali bagi pembunuh profesional. Apalagi pembunuhan dilakukan dengan cara menyiksa korban selama berjam-jam.

Saat amarah muncul, lelaki umumnya melampiaskan dengan tindakan fisik, baik melalui gerakan tangan maupun kaki. Pada kondisi ini, bagian otak yang lebih aktif adalah sistem limbik yang mengontrol emosi bekerja sama dengan bagian otak yang mengatur sistem motorik.

Adapun pada perempuan, saat murka melanda, bagian otak yang lebih aktif adalah girus singulat (cingulate gyrus), yaitu otak sadar yang merupakan bagian dari korteks prefrontal. Ini adalah bagian otak untuk berpikir rasional, bukan sistem limbik yang juga dimiliki otak binatang. Karena itu, kemarahan pada perempuan biasanya berwujud mata mendelik, tidak menggunakan tubuhnya untuk melakukan kekerasan.

Karena itu, jika ada perempuan sanggup melakukan perbuatan fisik untuk melukai orang lain sebagai ungkapan amarah, Taufiq menduga, itu akibat situasi yang membuat otak rasional perempuan menjadi tumpul dan emosinya justru lebih mengemuka.

”Hilangnya rasionalitas yang tergantikan oleh agresivitas untuk mempertahankan diri adalah bentuk pertahanan diri yang paling primitif pada makhluk hidup,” ujar Taufiq.

Rasionalitas sebenarnya bisa dibangun jika anak sejak dini diajarkan untuk melogika segala sesuatu yang ada di sekitarnya, termasuk tindakannya. Namun, emosi akan mengemuka dan rasionalitas menjadi tumpul jika anak terbiasa diasuh dengan aturan ”pokoknya...” tanpa menjelaskan alasan di balik setiap aturan yang diberlakukan.

Pendidikan di sekolah yang lebih mengedepankan dogma dan hafalan akan semakin memperparah kemampuan bernalar anak. ”Rasionalitas yang muncul akan mendorong seseorang mencintai sewajarnya, bukan serakah terhadap cinta. Cinta yang sewajarnya hanya bisa diperoleh jika seseorang juga memiliki benci yang sewajarnya. Jika cinta dan benci berlebihan, yang muncul adalah malapetaka,” ujar Taufiq.

Bentuk cinta yang paling rendah adalah mengagumi, hanya terikat pada keindahan saja. Sedangkan cinta yang paling tinggi adalah penyatuan diri hingga saling meniadakan identitas diri dengan yang dicintai.

Pingkan menambahkan, penghargaan atas diri adalah modal bagi hadirnya cinta yang tidak emosional. Perasaan ini dapat muncul jika sejak kecil anak dihargai. Merendahkan anak atau memaksa anak untuk berusaha keras agar mendapat penghargaan dari orangtua akan menyulitkan anak untuk menghargai dirinya sendiri.

Tidak ada komentar: